Nafasnya memburu seakan mencoba melarikan diri dari
dekapan mulut serigala, keringatnya mulai berlomba keluar melalui pori-pori
kecil pada kulit kuning pucat itu, matanya lelah menerawang kosong dalam gelap
kamar, ia terbangun karena mimpi buruk yang bahkan tak ingin di ingatnya
kembali.
Di rebahkan kembali tubuhnya yang tampak letih berlari
dalam mimpi, satu persatu gambar penantian mulai di bangun kembali dalam
pikiran untuk membantunya lekas kembali tertidur.
Menanti seorang kekasih yang berada entah dimana,
seorang gadis yang menunggunya datang menjemput, seorang wanita yang kelak
menjadi pendamping setianya dalam setiap cerita.
Angannya mulai menerawang jauh; Suatu hari di
kala senja membasuh pantai dengan sinar
hangatnya, disanalah kau akan menemaniku berbaring bersama butiran pasir
pantai, dan ombak yang terhempas akan menjadi salah satu saksi bisu indahnya pertemuan
yang kita dambakan.
Dengan doa akan penantian, sepasang kekasih melihat
dalam mata yang berbeda, dalam imajinasi semua bisa jelas tergambarkan. Jarak
dan lautan memisahkan mereka, lautan
begitu beringas memisahkan kedua pulau dalam angan, jarak begitu kejam
memberikan beribu kilometer pada sepasang rasa yang ingin mengucap.
Seorang gadis menyampaikan lirih pada lelaki “ Aku
tak akan lelah menunggu, karena aku yakin, setiap detiknya ku menunggu,
selangkah kakimu menuju aku, dan akhirnya kita akan tenggelam bersama keindahan
lembayung, dengan tubuhmu yang hanya sehasta bahuku “
Dengan harapan tanpa larangan dia berdoa kepada
jarak “ Aku harap tembok raksasa
bernama jarak yang selama ini menghalangi kita dapat lebur dalam kekekalan asa
yang telah kita bina “
Akalnya mulai hanyut dalam cerita semalam yang
ditulisnya dalam secarik kertas memori pada otaknya yang ingin terlelap.
Malam semakin larut, dingin mulai mencoba masuk
melalui celah-celah jendela kecil pada kamar, sebuah pelukan yang aku inginkan
saat ini. Pelukan erat dalam dekap pekat malam tanpa bintang. Sebuah pelukan
hangat bernada mesra dengan kasih dalam tiap sentuhannya, pastilah akan sangat
membahagiakan.
Mereka mulai berdebat bersama angin, mencoba berlomba
saling menitip rindu pada tiap hembus angin yang perlahan mulai memenuhi kamar
masing-masing, angin kerinduan gadis pun berhembus terlebih dahulu “ Aku
akan menjalani hariku seperti sebuah buku, suatu saat aku akan berhenti di
halaman terakhir, karena halaman itu telah ku tandai, dan kamu sebagai
pembatasnya “.
“ Aku tak ingin menjadi pembatas buku yang menyebabkan
ceritamu tertunda, aku ingin menjadi halaman baru yang menceritakan pengalaman
baru dalam hidupmu “ dalam senyum dan doa
lalu gadis membalas kerinduan pada angin malam “ Dalam keheningan aku
akan terus berdoa, semoga sajadah dan mukena serta tiap tetes air wudhu yang
terbasuh mengamininya “.
“ Maka izinkan aku menjadi imam di saat tubuhmu
terbalut indah oleh mukena bersih berwarna putih “ pinta angin yang di sampaikan lelaki dari seberang pulau. Di nantikannya
jawaban atas pertanyaan terakhirnya yang di sampaikan oleh angin, membuat malam
terasa semakin dingin.
Ketukan lembut jendela kamar terdengar perlahan,
kali ini angin tak ingin masuk melalui
celah-celah kecil jendela, angin kerinduan seakan membangunkan dan memberi
isyarat agar lelaki tak tertidur, dengan perlahan di bisikkan oleh angin
kerinduaan, pesan balasan dari gadis di pulau seberang “ Berada satu shaf di
belakangmu adalah hal yang aku tunggu, dan mengamini setiap doa yang kau
ucapkan adalah hal yang aku dambakan”.
Sesaat semua itu terasa nyata, dia hanyut dalam angan
yang dia buat sendiri, setiap kata, setiap kalimat, setiap harapan dan doa,
serta senja seperti angan yang akan tercapai, seakan menanti di ujung sana, di
ujung senja yang tak akan pernah tercapai, ujung senja dalam angan, gadis di
ujung senja dalam imajinasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar