Sayang, pohon rambutan di halaman telah berbuah, warna
buahnya telah memerah semerah bibir tipismu, rasanya manis, semanis senyummu
saat itu.
Kita menanamnya bersama di kala itu, saat kita mulai
saling mencinta dengan cita, cita-cita akan sebuah keluarga kecil dan manis,
semanis rambutan yang baru matang, masih aku ingat setiap keringatku yang kau
usap ketika aku menanamnya di halaman, kita mendapatkan bibitnya saat membantu
nenek-nenek tua menyeberang jalan.
Hatimu sungguh hangat sayang, begitu hangatnya hingga
membuat cintaku nyaman berada disana, setelah selesai menanam kita pun berjanji
akan merawatnya dengan teliti, menyiramnya setiap sore, memberikannya pupuk dan
membersihkan setiap daun-daunnya yang mulai kelelahan untuk terus bertengger
pada dahan.
Tahukah kau pemandangan yang menjadi kesukaanku?
Memandangmu di sore hari saat sedang menyiram pohon rambutan, dengan di temani
segelas kopi hangat yang kau buatkan dan sebatang rokok yang meracuni
paru-paruku dengan perlahan. Katamu “buahnya nanti pasti akan manis pak, karena
kita menanamnya dengan kasih sayang”
Kupandangi dirimu dan rambut panjang itu, rambut panjang
yang selalu kubelai setiap malam sebelum terlelap dalam imaji mimpi. Masihkah
kau ingat kata-kata mesra kita sebelum tidur yang pernah kau ucap? Aku
merindukan itu sayang, bantal dan guling hanya menatapku dengan berbagai
pertanyaan yang tak mampu ku jawab dengan bahasa, hanya diam yang bisa
kuberikan kepada mereka.
Sayang, kini pohon rambutan kita telah berbuah, benar katamu,
buahnya sangat manis, aku tak pernah sanggup menghabiskannya sendiri, maukah
kau kembali dan membantuku?
Sore itu sehabis hujan pelangi tampak indah, bayanganmu
duduk bersamaku dalam diam tanpa suara, membawakan aku segelas kopi hangat yang
ku buat sendiri.
Aku sudah berhenti merokok sekarang sayang, dokter tidak
membolehkanku terus menyakiti paru-paru yang telah berlubang ini.
Bisakah kau kembali sayang? Aku sungguh merindukanmu
seperti gurun pasir yang rindu akan hujan, layaknya padang rumput di musim
panas yang ingin tersentuh oleh hujan.
Aah, aku ini bagaimana, mungkin sekarang dirimu sedang
duduk manis menikmati buah mangga dari pohon yang kau tanam bersamanya di
temani tawa lucu anak-anakmu.
Maafkan aku, asap rokok ternyata telah membuatku tak bisa
memberikanmu keturunan sehingga kau harus menanam pohon lain bersama dia,
adikku, saudara yang lahir berbeda dua menit dariku.
Kini hanya pohon rambutan yang tersisa dari kenangan
bersamamu dahulu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar