Sabtu, 24 November 2012

Rambutan dan Kita



Sayang, pohon rambutan di halaman telah berbuah, warna buahnya telah memerah semerah bibir tipismu, rasanya manis, semanis senyummu saat itu.

Kita menanamnya bersama di kala itu, saat kita mulai saling mencinta dengan cita, cita-cita akan sebuah keluarga kecil dan manis, semanis rambutan yang baru matang, masih aku ingat setiap keringatku yang kau usap ketika aku menanamnya di halaman, kita mendapatkan bibitnya saat membantu nenek-nenek tua menyeberang jalan.

Hatimu sungguh hangat sayang, begitu hangatnya hingga membuat cintaku nyaman berada disana, setelah selesai menanam kita pun berjanji akan merawatnya dengan teliti, menyiramnya setiap sore, memberikannya pupuk dan membersihkan setiap daun-daunnya yang mulai kelelahan untuk terus bertengger pada dahan.

Tahukah kau pemandangan yang menjadi kesukaanku? Memandangmu di sore hari saat sedang menyiram pohon rambutan, dengan di temani segelas kopi hangat yang kau buatkan dan sebatang rokok yang meracuni paru-paruku dengan perlahan. Katamu “buahnya nanti pasti akan manis pak, karena kita menanamnya dengan kasih sayang”

Kupandangi dirimu dan rambut panjang itu, rambut panjang yang selalu kubelai setiap malam sebelum terlelap dalam imaji mimpi. Masihkah kau ingat kata-kata mesra kita sebelum tidur yang pernah kau ucap? Aku merindukan itu sayang, bantal dan guling hanya menatapku dengan berbagai pertanyaan yang tak mampu ku jawab dengan bahasa, hanya diam yang bisa kuberikan kepada mereka.

Sayang, kini pohon rambutan kita telah berbuah, benar katamu, buahnya sangat manis, aku tak pernah sanggup menghabiskannya sendiri, maukah kau kembali dan membantuku?
Sore itu sehabis hujan pelangi tampak indah, bayanganmu duduk bersamaku dalam diam tanpa suara, membawakan aku segelas kopi hangat yang ku buat sendiri.

Aku sudah berhenti merokok sekarang sayang, dokter tidak membolehkanku terus menyakiti paru-paru yang telah berlubang ini.
Bisakah kau kembali sayang? Aku sungguh merindukanmu seperti gurun pasir yang rindu akan hujan, layaknya padang rumput di musim panas yang ingin tersentuh oleh hujan.

Aah, aku ini bagaimana, mungkin sekarang dirimu sedang duduk manis menikmati buah mangga dari pohon yang kau tanam bersamanya di temani tawa lucu anak-anakmu.
Maafkan aku, asap rokok ternyata telah membuatku tak bisa memberikanmu keturunan sehingga kau harus menanam pohon lain bersama dia, adikku, saudara yang lahir berbeda dua menit dariku.

Kini hanya pohon rambutan yang tersisa dari kenangan bersamamu dahulu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar