Rabu, 21 November 2012

Sore Mendung


Tubuhnya masih terkulai lemas di atas kasur, selimut dan guling masih setia memeluknya, bantalpun masih sibuk memangku kepalanya, rambutnya yang tipis dan kering menandakan bahwa dia tak suka memakai minyak rambut ataupun gel rambut.

Matanya setengah sipit, maklum saja dia berdarah campuran, ayahnya keturunan cina entah darimana dia tak ingin mengetahui asal-usulnya, sedangkan ibunya keturunan asli jawa, pare lebih tepatnya, kakeknya dulu seorang bangsawan di daerah asalnya, tetapi karena perebutan harta warisan kakeknya memilih merubah namanya dan pindah ke kota kecil ini. Ya,kota kecil ini telah memberikan banyak kenangan serta pengalaman kepada tubuh kurus dan kecil itu, pelajaran akan hidup serta kasih sayang yang sulit untuk di lupakan.

Sore itu masih mendung, sedari pagi dia tak beranjak dari kamar kesayangannya, kamar yang lusuh dan kotor layaknya kapal sehabis di terjang badai kata orang-orang, tetapi kamar itu tempat paling nyaman yang dirasakan olehnya. Berbagai cerita dan pohon pernah terjadi disana, kamar itu telah di tempatinya sedari dia masih menginjak bangku smp hingga sekarang menjadi mahasiswa tingkat akhir, wajar saja jika kamar itu menjadi tempat yang akan dia rindukan kelak ketika telah berumah-tangga.

Kesepian adalah teman yang dia rasakan di sore itu, rindu akan ombak pantai membuatnya mulai bangun dari kasurnya, sambil membayangkan apa kira-kira yang akan di suguhkan oleh pantai jika dia pergi kesana.
Tenggorokannya mulai terasa kering, di teguknya segelas teh hangat sisa pagi tadi, walaupun telah tak hangat lagi tetap saja saat di buat itu bernama teh hangat, nalurinya untuk merokok tak pernah dapat di bendung oleh bibirnya yang mulai berubah semakin hitam akibat nikotin yang terdapat dalam kandungan rokok.

Hisapan pertama dia masih belum mendapatkan kenikmatannya, hisapan kedua membuatnya berhenti sejenak dan kemudian menikmati hisapan-hisapan selanjutnya.

Kembali membuka kenangan akan pohon-pohon cerita yang pernah di rangkainya bersama gadis-gadis hebat yang pernah dia temui dan mengisi hari-hari bersama. Banyak di antaranya yang telah menikah, maklum saja umur mereka telah menginjak kepala dua dan menurutnya itu adalah usia yang layak untuk membina rumah tangga.

Senyum kecil mulai melebar menjadi tawa sederhana dari bibirnya ketika mengingat gadis-gadis tersebut, ada beberapa yang telah lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan, sedangkan dia masih saja sibuk mengutak-ngatik laptop di kamar, hidup menurutnya adalah tentang keinginan kita, tujuan kita kelak haruslah berdasarkan pilihan kita dan bukan karna paksaan, karena dengan begitu maka kita akan menjalaninya tanpa beban.

Beberapa kisah yang pernah dia lihat dan dengar dari beberapa teman adalah betapa kesabaran sangat di uji dalam keluarga keturunan timur tengah, para gadis sangat di jaga (itu menurut mereka) tetapi yang kita lihat sebagai masyarakat adalah mereka seperti burung dalam sangkar.

Jujur saya sendiri sangat salut kepada gadis-gadis timur tengah, karena kesabaran yang begitu ikhlas kepada orangtua.

Kembali membuka halaman berikutnya pada pohon cerita dia, sebut saja Tejo kembali tersenyum mengingat ada beberapa mantan yang pernah menyakiti dan menghianati kesetiaannya, alangkah begitu hebat gadis-gadis tersebut dalam menyembunyikan kenyataan, kira-kira siapa yang akan mereka khianati berikutnya? Aah biarkan itu menjadi rahasia mereka saja.

Di lihatnya telephone genggam yang belum sampai setahun dia gunakan, di perhatikan beberapa kontak yang ada disana, tejo suka memperhatikan kebiasaan  orang-orang, cita-citanya yang sebenarnya adalah menjadi psikolog tetapi dia sendiri terdampar di fakultas hukum hingga kini, berencana melanjutkan s2 dengan mengambil jurusan psikologi sepertinya harus menunggu beberapa tahun lagi.

Sore itu banyak orang berdoa agar tidak turun hujan, ada juga yang rindu akan hujan,  berbagai macam pemikiran menjadi satu di sore kelabu itu.  Sedangkan tejo asik mengenang para gadis, hatinya saat itu tidak memiliki kasih, sedatar jalan raya, saat dia sakit dan terkulai lemah di kamar tak ada siapapun yang memperhatikannya, rindu akan kasih sayang mungkin lebih tepatnya.

Sejenak dia berpikir “apa yang salah pada diriku? Apakah aku pernah kurang menyayangi mereka? Atau aku pernah menganggap mereka tak ada? Aah setahuku aku selalu memperhatikan tiap kekasih yang bersamaku, aku selalu menyayangi mereka meski dalam diam, aku selalu mengingat nama mereka dalam kerahasian”

Di sinilah tejo mulai sadar bahwa sesungguhnya gadis yang paling setia adalah gadis yang akan mendampinginya kelak, seorang istri yang sabar dan penurut menjadi dambaannya, tidak harus ibu rumah tangga, wanita karier pun tak apa asalkan dia bisa menjaga hatinya dan tetap setia. 

Sepertinya itu bukan hanya dambaan dia saja, melainkan dambaan setiap lelaki, termasuk saya (tejo)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar