Tubuhnya masih terkulai lemas di atas kasur, selimut dan
guling masih setia memeluknya, bantalpun masih sibuk memangku kepalanya,
rambutnya yang tipis dan kering menandakan bahwa dia tak suka memakai minyak
rambut ataupun gel rambut.
Matanya setengah sipit, maklum saja dia berdarah campuran,
ayahnya keturunan cina entah darimana dia tak ingin mengetahui asal-usulnya,
sedangkan ibunya keturunan asli jawa, pare lebih tepatnya, kakeknya dulu
seorang bangsawan di daerah asalnya, tetapi karena perebutan harta warisan
kakeknya memilih merubah namanya dan pindah ke kota kecil ini. Ya,kota kecil
ini telah memberikan banyak kenangan serta pengalaman kepada tubuh kurus dan
kecil itu, pelajaran akan hidup serta kasih sayang yang sulit untuk di lupakan.
Sore itu masih mendung, sedari pagi dia tak beranjak dari
kamar kesayangannya, kamar yang lusuh dan kotor layaknya kapal sehabis di
terjang badai kata orang-orang, tetapi kamar itu tempat paling nyaman yang
dirasakan olehnya. Berbagai cerita dan pohon pernah terjadi disana, kamar itu
telah di tempatinya sedari dia masih menginjak bangku smp hingga sekarang
menjadi mahasiswa tingkat akhir, wajar saja jika kamar itu menjadi tempat yang
akan dia rindukan kelak ketika telah berumah-tangga.
Kesepian adalah teman yang dia rasakan di sore itu, rindu
akan ombak pantai membuatnya mulai bangun dari kasurnya, sambil membayangkan
apa kira-kira yang akan di suguhkan oleh pantai jika dia pergi kesana.
Tenggorokannya mulai terasa kering, di teguknya segelas teh
hangat sisa pagi tadi, walaupun telah tak hangat lagi tetap saja saat di buat
itu bernama teh hangat, nalurinya untuk merokok tak pernah dapat di bendung
oleh bibirnya yang mulai berubah semakin hitam akibat nikotin yang terdapat
dalam kandungan rokok.
Hisapan pertama dia masih belum mendapatkan kenikmatannya,
hisapan kedua membuatnya berhenti sejenak dan kemudian menikmati hisapan-hisapan
selanjutnya.
Kembali membuka kenangan akan pohon-pohon cerita yang pernah
di rangkainya bersama gadis-gadis hebat yang pernah dia temui dan mengisi
hari-hari bersama. Banyak di antaranya yang telah menikah, maklum saja umur
mereka telah menginjak kepala dua dan menurutnya itu adalah usia yang layak
untuk membina rumah tangga.
Senyum kecil mulai melebar menjadi tawa sederhana dari
bibirnya ketika mengingat gadis-gadis tersebut, ada beberapa yang telah lulus
kuliah dan mendapatkan pekerjaan, sedangkan dia masih saja sibuk
mengutak-ngatik laptop di kamar, hidup menurutnya adalah tentang keinginan
kita, tujuan kita kelak haruslah berdasarkan pilihan kita dan bukan karna
paksaan, karena dengan begitu maka kita akan menjalaninya tanpa beban.
Beberapa kisah yang pernah dia lihat dan dengar dari
beberapa teman adalah betapa kesabaran sangat di uji dalam keluarga keturunan
timur tengah, para gadis sangat di jaga (itu menurut mereka) tetapi yang kita
lihat sebagai masyarakat adalah mereka seperti burung dalam sangkar.
Jujur saya sendiri sangat salut kepada gadis-gadis timur
tengah, karena kesabaran yang begitu ikhlas kepada orangtua.
Kembali membuka halaman berikutnya pada pohon cerita dia,
sebut saja Tejo kembali tersenyum mengingat ada beberapa mantan yang pernah
menyakiti dan menghianati kesetiaannya, alangkah begitu hebat gadis-gadis
tersebut dalam menyembunyikan kenyataan, kira-kira siapa yang akan mereka
khianati berikutnya? Aah biarkan itu menjadi rahasia mereka saja.
Di lihatnya telephone genggam yang belum sampai setahun dia
gunakan, di perhatikan beberapa kontak yang ada disana, tejo suka memperhatikan
kebiasaan orang-orang, cita-citanya yang
sebenarnya adalah menjadi psikolog tetapi dia sendiri terdampar di fakultas
hukum hingga kini, berencana melanjutkan s2 dengan mengambil jurusan psikologi
sepertinya harus menunggu beberapa tahun lagi.
Sore itu banyak orang berdoa agar tidak turun hujan, ada
juga yang rindu akan hujan, berbagai
macam pemikiran menjadi satu di sore kelabu itu. Sedangkan tejo asik mengenang para gadis,
hatinya saat itu tidak memiliki kasih, sedatar jalan raya, saat dia sakit dan
terkulai lemah di kamar tak ada siapapun yang memperhatikannya, rindu akan
kasih sayang mungkin lebih tepatnya.
Sejenak dia berpikir “apa yang salah pada diriku? Apakah aku
pernah kurang menyayangi mereka? Atau aku pernah menganggap mereka tak ada? Aah
setahuku aku selalu memperhatikan tiap kekasih yang bersamaku, aku selalu
menyayangi mereka meski dalam diam, aku selalu mengingat nama mereka dalam
kerahasian”
Di sinilah tejo mulai sadar bahwa sesungguhnya gadis yang
paling setia adalah gadis yang akan mendampinginya kelak, seorang istri yang
sabar dan penurut menjadi dambaannya, tidak harus ibu rumah tangga, wanita
karier pun tak apa asalkan dia bisa menjaga hatinya dan tetap setia.
Sepertinya itu bukan hanya dambaan dia saja, melainkan
dambaan setiap lelaki, termasuk saya (tejo)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar