Ibu,hari ini hujan lagi, hujan seperti waktu itu, 20tahun
yang lalu kita pernah menyaksikan hujan seperti ini, gemuruh petir seakan
berlomba dengan riuh suara air yang menghempas dataran, aku mengingatnya dengan
jelas, kita duduk di selasar rumah menanti ayah yang tak kunjung datang sehabis
bekerja.
Kita berdua duduk berdekatan seperti tak ingin saling
melepaskan, masih ku ingat begitu erat kau mendekap dalam hangat peluk, kau
mencium keningku dan berkata “ayah pasti pulang sebentar lagi” dia adalah
lelaki yang kau sayangi sedari masih SMA.
Kau bercerita kepadaku tentang masa-masa SMA kalian dulu,
berharap hilang khawatirku mungkin, tetapi raut wajah cemasmu tak bisa kau
tutupi dari mataku, ya,,kedua mata ini adalah buah dari kasihmu dengannya bu.
Dahulu seorang kawan bertanya kepadamu, siapa orang yang kau
sukai disekolah? Kau menunjuk ke arah seorang lelaki yang sedang duduk di
bangku pojok kelas dan menatapmu lembut, semalam saat aku bertanya siapa cinta
pertamamu kau menunjuk ke arah lelaki yang sedang menikmati kopi dan sebatang
rokok di ruang keluarga, sibuk menyaksikan pertandingan sepakbola yang di
hidangkan televisi.
Aku tak menyangka kau dan dia telah saling mencinta begitu
lama, aku juga berharap cinta itu akan ku dapat dari istriku kelak bu, kita
tahu, ayah tak kunjung kembali hari itu, hanya cemas dan was-was yang kita
rasakan saat itu, hingga ke esokan hari akhirnya semua terjawab, air matamu tak
kunjung henti berderai saat menerima telephone dari rumah sakit.
Bagaimana kabarmu disana bu? Disini aku merasa rindu
kepadamu, rindu akan kopi hangat buatanmu, rindu akan nasihat singkat bijakmu,
rindu akan senyum dan cerita manismu.
Tali tebal yang memeluk lehermu dengan kasar masih kusimpan,
mungkin suatu saat aku akan menggunakannya, atau mungkin akan ku kembalikan
kepadamu nantinya disana.
Titip salam untuk ayah, aku menyayangimu bu, selalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar