Selasa, 18 Desember 2012

Gadis di Ujung Senja



Nafasnya memburu seakan mencoba melarikan diri dari dekapan mulut serigala, keringatnya mulai berlomba keluar melalui pori-pori kecil pada kulit kuning pucat itu, matanya lelah menerawang kosong dalam gelap kamar, ia terbangun karena mimpi buruk yang bahkan tak ingin di ingatnya kembali.

Di rebahkan kembali tubuhnya yang tampak letih berlari dalam mimpi, satu persatu gambar penantian mulai di bangun kembali dalam pikiran untuk membantunya lekas kembali tertidur.

Menanti seorang kekasih yang berada entah dimana, seorang gadis yang menunggunya datang menjemput, seorang wanita yang kelak menjadi pendamping setianya dalam setiap cerita.

Angannya mulai menerawang jauh; Suatu hari di kala  senja membasuh pantai dengan sinar hangatnya, disanalah kau akan menemaniku berbaring bersama butiran pasir pantai, dan ombak yang terhempas akan menjadi salah satu saksi bisu indahnya pertemuan yang kita dambakan.

Dengan doa akan penantian, sepasang kekasih melihat dalam mata yang berbeda, dalam imajinasi semua bisa jelas tergambarkan. Jarak dan lautan memisahkan mereka,  lautan begitu beringas memisahkan kedua pulau dalam angan, jarak begitu kejam memberikan beribu kilometer pada sepasang rasa yang ingin mengucap.

Seorang gadis menyampaikan lirih pada lelaki “ Aku tak akan lelah menunggu, karena aku yakin, setiap detiknya ku menunggu, selangkah kakimu menuju aku, dan akhirnya kita akan tenggelam bersama keindahan lembayung, dengan tubuhmu yang hanya sehasta bahuku “

Dengan harapan tanpa larangan dia berdoa kepada jarak  “ Aku harap tembok raksasa bernama jarak yang selama ini menghalangi kita dapat lebur dalam kekekalan asa yang telah kita bina “
Akalnya mulai hanyut dalam cerita semalam yang ditulisnya dalam secarik kertas memori pada otaknya yang ingin terlelap.

Malam semakin larut, dingin mulai mencoba masuk melalui celah-celah jendela kecil pada kamar, sebuah pelukan yang aku inginkan saat ini. Pelukan erat dalam dekap pekat malam tanpa bintang. Sebuah pelukan hangat bernada mesra dengan kasih dalam tiap sentuhannya, pastilah akan sangat membahagiakan.

Mereka mulai berdebat bersama angin, mencoba berlomba saling menitip rindu pada tiap hembus angin yang perlahan mulai memenuhi kamar masing-masing, angin kerinduan gadis pun berhembus terlebih dahulu “ Aku akan menjalani hariku seperti sebuah buku, suatu saat aku akan berhenti di halaman terakhir, karena halaman itu telah ku tandai, dan kamu sebagai pembatasnya “.

“ Aku tak ingin menjadi pembatas buku yang menyebabkan ceritamu tertunda, aku ingin menjadi halaman baru yang menceritakan pengalaman baru dalam hidupmu “ dalam senyum dan doa  lalu gadis membalas kerinduan pada angin malam “ Dalam keheningan aku akan terus berdoa, semoga sajadah dan mukena serta tiap tetes air wudhu yang terbasuh mengamininya “.

“ Maka izinkan aku menjadi imam di saat tubuhmu terbalut indah oleh mukena bersih berwarna putih “ pinta angin yang di sampaikan lelaki dari seberang pulau. Di nantikannya jawaban atas pertanyaan terakhirnya yang di sampaikan oleh angin, membuat malam terasa semakin dingin.

Ketukan lembut jendela kamar terdengar perlahan, kali  ini angin tak ingin masuk melalui celah-celah kecil jendela, angin kerinduan seakan membangunkan dan memberi isyarat agar lelaki tak tertidur, dengan perlahan di bisikkan oleh angin kerinduaan, pesan balasan dari gadis di pulau seberang “ Berada satu shaf di belakangmu adalah hal yang aku tunggu, dan mengamini setiap doa yang kau ucapkan adalah hal yang aku dambakan”.

Sesaat semua itu terasa nyata, dia hanyut dalam angan yang dia buat sendiri, setiap kata, setiap kalimat, setiap harapan dan doa, serta senja seperti angan yang akan tercapai, seakan menanti di ujung sana, di ujung senja yang tak akan pernah tercapai, ujung senja dalam angan, gadis di ujung senja dalam imajinasi.

Sabtu, 24 November 2012

Rambutan dan Kita



Sayang, pohon rambutan di halaman telah berbuah, warna buahnya telah memerah semerah bibir tipismu, rasanya manis, semanis senyummu saat itu.

Kita menanamnya bersama di kala itu, saat kita mulai saling mencinta dengan cita, cita-cita akan sebuah keluarga kecil dan manis, semanis rambutan yang baru matang, masih aku ingat setiap keringatku yang kau usap ketika aku menanamnya di halaman, kita mendapatkan bibitnya saat membantu nenek-nenek tua menyeberang jalan.

Hatimu sungguh hangat sayang, begitu hangatnya hingga membuat cintaku nyaman berada disana, setelah selesai menanam kita pun berjanji akan merawatnya dengan teliti, menyiramnya setiap sore, memberikannya pupuk dan membersihkan setiap daun-daunnya yang mulai kelelahan untuk terus bertengger pada dahan.

Tahukah kau pemandangan yang menjadi kesukaanku? Memandangmu di sore hari saat sedang menyiram pohon rambutan, dengan di temani segelas kopi hangat yang kau buatkan dan sebatang rokok yang meracuni paru-paruku dengan perlahan. Katamu “buahnya nanti pasti akan manis pak, karena kita menanamnya dengan kasih sayang”

Kupandangi dirimu dan rambut panjang itu, rambut panjang yang selalu kubelai setiap malam sebelum terlelap dalam imaji mimpi. Masihkah kau ingat kata-kata mesra kita sebelum tidur yang pernah kau ucap? Aku merindukan itu sayang, bantal dan guling hanya menatapku dengan berbagai pertanyaan yang tak mampu ku jawab dengan bahasa, hanya diam yang bisa kuberikan kepada mereka.

Sayang, kini pohon rambutan kita telah berbuah, benar katamu, buahnya sangat manis, aku tak pernah sanggup menghabiskannya sendiri, maukah kau kembali dan membantuku?
Sore itu sehabis hujan pelangi tampak indah, bayanganmu duduk bersamaku dalam diam tanpa suara, membawakan aku segelas kopi hangat yang ku buat sendiri.

Aku sudah berhenti merokok sekarang sayang, dokter tidak membolehkanku terus menyakiti paru-paru yang telah berlubang ini.
Bisakah kau kembali sayang? Aku sungguh merindukanmu seperti gurun pasir yang rindu akan hujan, layaknya padang rumput di musim panas yang ingin tersentuh oleh hujan.

Aah, aku ini bagaimana, mungkin sekarang dirimu sedang duduk manis menikmati buah mangga dari pohon yang kau tanam bersamanya di temani tawa lucu anak-anakmu.
Maafkan aku, asap rokok ternyata telah membuatku tak bisa memberikanmu keturunan sehingga kau harus menanam pohon lain bersama dia, adikku, saudara yang lahir berbeda dua menit dariku.

Kini hanya pohon rambutan yang tersisa dari kenangan bersamamu dahulu.

ini bukan cerita


Ini bukan tentang aku.
Ini bukanlah cerita cinta
Bukan juga mengenai sepasang kekasih
Ini bukan tangis dan air mata
Ini hanyalah coretan tanpa batasan.

Dia sendiri dalam kamar sempit sunyi kelamnya, di lihatnya keluar jendela, langit bersedih, langit menangis dengan keras bersama petir, seolah mengerti maksud tangisan dari langit, petir menutupi itu dengan gemuruh riuhnya.

Tapi itu tak mampu mengubah apa yang di tuliskan oleh hujan, entah siapa dan dimana, jelas terlihat ada yang sedang bersedih dengan kisahnya, tak mempu menulis naskahnya sendiri, dia hanya mampu menjadi tokoh utama dalam ceritanya itu.
Terbawa oleh perasaan dan meneteskan air mata tanda kekesalan.

Sekali lagi aku jelaskan ini bukan kisah cinta sepasang kekasih atau air mata yang sempat tertulis, ini hanyalah coretan tanpa batas kepastian,.

Sungguh lucu, bagaiman hujan bisa membawa kita masuk dalam suasana sendu nan pilu, dengan suara merdu rintikannya kita terhipnotis untuk sejenak melambatkan laju gerak syaraf kita, menyaksikan kekuasaannya dalam mengontrol naluri manusia.

Tahukah engkau, saat kita merasa sedih seharusnya kita tak perlu sedih, karena itu sebenarnya adalah proses kita menjadi semakin dewasa, semakin dalam kesedihan yang kau rasakan, maka semakin bijak kau akan berkata kepada hidupmu.

Nikmati setiap deru ombak hati yang tertahan, keluarkan setiap tetes air mata yang bisa kau panjatkan, rasakan bagaimana itu semua nantinya akan mengubah dirimu yang lemah.

Banyak kisah yang telah saya saksikan, satu kisah yang paling saya takutkan adalah kisah kematian, kisah ini tak memberi isyarat atau peringatan kepada hati dan pikiran, kisah ini mengambil setiap helai daun pohon kenangan yang miliki dan membakarnya dalam api kubur bersama kenangan-kenangan yang lain.

Nikmatilah setiap helai daun yang tumbuh dari pohon hidupmu, hingga tak ada penyesalan nantinya saat daun kematian mulai menghampirimu.

Ini bukan mengenai kisah cinta akhir zaman, Bukan juga mengenai sepasang kekasih, Ini bukan tangis dan air mata, Ini hanyalah coretan tanpa batasan mengenai keindahan hujan dan kisah kematian yang akan datang.

Cerita Hujan:



Ibu,hari ini hujan lagi, hujan seperti waktu itu, 20tahun yang lalu kita pernah menyaksikan hujan seperti ini, gemuruh petir seakan berlomba dengan riuh suara air yang menghempas dataran, aku mengingatnya dengan jelas, kita duduk di selasar rumah menanti ayah yang tak kunjung datang sehabis bekerja.

Kita berdua duduk berdekatan seperti tak ingin saling melepaskan, masih ku ingat begitu erat kau mendekap dalam hangat peluk, kau mencium keningku dan berkata “ayah pasti pulang sebentar lagi” dia adalah lelaki yang kau sayangi sedari masih SMA.

Kau bercerita kepadaku tentang masa-masa SMA kalian dulu, berharap hilang khawatirku mungkin, tetapi raut wajah cemasmu tak bisa kau tutupi dari mataku, ya,,kedua mata ini adalah buah dari kasihmu dengannya bu.

Dahulu seorang kawan bertanya kepadamu, siapa orang yang kau sukai disekolah? Kau menunjuk ke arah seorang lelaki yang sedang duduk di bangku pojok kelas dan menatapmu lembut, semalam saat aku bertanya siapa cinta pertamamu kau menunjuk ke arah lelaki yang sedang menikmati kopi dan sebatang rokok di ruang keluarga, sibuk menyaksikan pertandingan sepakbola yang di hidangkan televisi.

Aku tak menyangka kau dan dia telah saling mencinta begitu lama, aku juga berharap cinta itu akan ku dapat dari istriku kelak bu, kita tahu, ayah tak kunjung kembali hari itu, hanya cemas dan was-was yang kita rasakan saat itu, hingga ke esokan hari akhirnya semua terjawab, air matamu tak kunjung henti berderai saat menerima telephone dari rumah sakit.

Bagaimana kabarmu disana bu? Disini aku merasa rindu kepadamu, rindu akan kopi hangat buatanmu, rindu akan nasihat singkat bijakmu, rindu akan senyum dan cerita manismu.

Tali tebal yang memeluk lehermu dengan kasar masih kusimpan, mungkin suatu saat aku akan menggunakannya, atau mungkin akan ku kembalikan kepadamu nantinya disana.

Titip salam untuk ayah, aku menyayangimu bu, selalu.

Rabu, 21 November 2012

Secarik Pohon


Pagi selalu hujan di bulan ini, bulan yang penuh dengan kenangan, bulan yang seharusnya kering tetapi turun hujan. Bulan yang tidak disukainya, bulan November.

Langit tetap tenrsenyum pada siang hari, mendambakan mendung tetapi mentari tersenyum dengan lantang, sepasang anak manusia mengeluh akan senyum mentari. Surti dan Tejo sepasang kekasih yang baru saja menjalin hubungan setelah lama berteman.

Dalam kisah lain tampak seorang bapak yang meraih rezekinya dengan membantu orang-orang melihat ke belakang mobil, mereka terlalu angkuh untuk turun dan melihat sendiri, bapak memberi tanda dengan menggunakan peluit dan isyarat tangan.

Di sebuah cafe tak jauh dari sana seorang pemuda menulis kisah antah berantah tentang kehidupan yang tidak di jalaninya, kehidupan yang hidup di dalam pikirannya, jalan semu yang di pilihnya untuk di ceritakan kepada khalayak ramai, bukan mengenai dia atau mereka, tetapi mengenai angan dan khayalan.

Malam tadi seorang pujangga melantunkan sajak rindu akan kenangan, kita terlalu dini untuk bermimpi, tunggulah sebentar lagi, sampai malam tak berbunyi tulis sang pujangga.
Aku terjaga tiap malam, siapa tahu rindu akan menuntunmu pulang.
Sedianya malam hanya menuntunku untuk menemukan kerinduanmu.

Setiap kerinduan yang di lantunkannya dalam kata mengubah malamnya menjadi semakin kelabu dan pilu, hingga perahu mimpi menjemput agar bergegas bertemu sang kekasih dalam dunianya, dunia mimpi.